Beberapa
waktu lalu, merupakan malam spesial bagi anggota rombongan drama tari klasik
Wayang Orang (WO) Sriwedari, yang merayakan ulang tahun ke 107 dengan ratusan
penonton di taman budaya Taman Sriwedari di Surakarta, Jawa Tengah, pada bulan
Juli. Rombongan tersebut menggelar sebuah acara kolaborasi dengan dua kelompok
besar, WO Bharata (Jakarta) dan WO Ngesti Pandawa (Semarang, Jawa Barat), serta
tokoh budaya dan maestro tari, menghadirkan sebuah episode epik Mahabharata,
Srikandi Larasati Kembar (The Srikandi Larasati Twins).
Selamat Dari Gerusan
Zaman
Episode
ini bercerita tentang Raja Sri Gendono dan kedua adik perempuannya, Dewi
Sriweni dan Dewi Sriwanti, yang ingin membalas dendam atas kematian ayah mereka
di tangan Arjuna. Dengan menyamar sebagai Srikandi dan Larasti (istri Arjuna),
keduanya berniat mencuri senjata Arjuna. Alih-alih mencuri senjata mereka jatuh
cinta dengan Gondang Jagad dan Gondang Dewo, putra sulung Arjuna. Karena cinta
tulus yang ditunjukkan oleh saudara perempuannya, Raja Sri Gendono akhirnya
menumpahkan dendamnya terhadap Arjuna dan memilih untuk berdamai.
Didirikan
pada tanggal 10 Juli 1910, WO Sriwedari telah terselamatkan dari pukulan zaman
modern. Setelah menikmati masa jayanya dari tahun 1960 sampai 1980, rombongan
tersebut mengalami kemunduran karena bintangnya Darsi, Rusman dan Surono,
perlahan mulai memudar.
Kemudian,
pada tahun 1960an, tiga penari terkenal itu menjadi orang kesukaan Presiden
Sukarno. WO Sriwedari bahkan tampil di Istana Negara secara rutin untuk menjamu
para tamu terhormat. Sejak awal 1990an penontonnya telah menyusut dan sekarang
hanya sekitar 30 sampai 50 peserta yang menonton setiap pertunjukan dengan
harga tiket Rp 5.000 (37 sen dolar AS) sampai Rp 10.000.
Terselamatkan Pemkot
Surakarta
Setelah
itu, nasib kelompok tersebut menarik perhatian pemerintah kota Surakarta ketika
pada tahun 2005 WO Sriwedari menjadi ikon aset dan budaya kota ini melalui
renovasi bangunan dan peningkatan frekuensi kinerja, dari tiga kali seminggu
menjadi enam, disamping promosi kesejahteraan personilnya. Dan saat ini, 90
persen dari sekitar 85 pemain WO Sriwedari adalah pegawai negeri sipil.
Selebihnya termasuk mahasiswa dan lulusan Institut Seni Indonesia (ISI)
Surakarta, yang baru saja bergabung dalam acara rombongan tersebut sebagai
penari sukarela dan pemain gamelan tanpa bayaran.
Berbagai
upaya telah dilakukan untuk menarik penonton dengan berkolaborasi dengan
seniman, pejabat dan tokoh masyarakat sebagai bintang tamu. Pada kesempatan
seperti itu, teater dapat dikemas dengan kapasitas penuh meskipun pada
hari-hari biasa jumlah penonton hanya berjumlah puluhan orang.
Sis
Ismiyati, Kepala Dinas Kebudayaan Surakarta, mengatakan bahwa dia telah melihat
ketertarikan publik terhadap WO Sriwedari dalam beberapa bulan terakhir
meskipun penontonnya terbatas.
"Paling
tidak ada antusiasme masyarakat dalam mendukung bentuk kesenian tradisional
ini," katanya.
Maryo,
79, pemain paling senior, mengatakan bahwa dia bisa memahami khalayak kecil
sehubungan dengan menjamurnya bentuk hiburan modern.
"Itu
hukum alam. Setiap periode memiliki daya tarik tersendiri untuk ditawarkan,
namun beberapa anggota generasi sekarang masih menyukai wayang orang. Ini tugas
orang tua seperti kita untuk melestarikan tradisi ini, "katanya.
Maryo
menghubungkan kelangsungan WO Sriwedari dengan loyalitas anggota rombongan
untuk menjaga drama tradisional, sebuah perjuangan di mana mereka tidak
sendiri. Kelompok lain seperti WO Ngesti Pandawa, WO Bharata dan WO Wiromo
Budaya (Yogyakarta) juga mengalami tantangan dewa poker serupa. Saat ini, WO Sriwedari
adalah satu-satunya kelompok yang mampu tampil setiap hari dari Senin sampai
Sabtu.
Agus
Prasetyo, direktur WO Sriwedari, mengatakan, dia berharap pemerintah kota akan
membantu mempromosikan WO Sriwedari sebagai ikon budaya. Sementara itu, pemain
rombongan harus terus mengeksplorasi fitur artistik baru, pengaturan cerita,
pola presentasi dan pengaturan panggung agar semakin menarik penonton.